Powered By Blogger

Jumat, 07 Mei 2010

Ijtihad & Mujtahid

A.Pengertian Ijtihad
Ijtihad yang berasal dari kata (asal mula katanya) ijtahada artinya adalah : mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban. Usaha sungguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk mencapai putusan syarak (hukum Islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw.
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, di antaranya: (Juhaya, 2007;102)
Firman Allah Swt :
إنا انزلنا اليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بمآ اراك الله . (النساء: )
”Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepada kamu.”
Dari sunah, yang membolehkan ijtihad :
إذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله أجران واذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
“Jika seorang hakim menghukum sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala."
Ada beberapa rumusan ijtihad yang dikemukakan ulama. Perbedaan definisi pada umumnya berawal dari pendekatan yang digunakan. Bagi ulama yang melakukan pendekatan melalui pemikiran holistik dan integral, ijtihad diartikan dengan ”segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, seperti fiqh, teologi, filsafat, dan tasawuf”. Adapun ulama ushul fiqh melihat ijtihad sebagai aktivitas nalar yang berkaitan dengan masalah fiqh. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa upaya memahami masalah-masalah teologi, filsafat, dan tasawuf dari nas tidak dinamakan sebagai aktivitas ijtihad. Akan tetapi, ulama ushul fiqh ini dalam merumuskan ijtihad secara terminologis pun berbeda pendapat. Meskipun perbedaan tersebut tidak terlalu tajam, pada gilirannya perbedaan tersebut berpengaruh terhadap kedudukan dan bidang kajian ijtihad.
Imam al-Ghazali, ahli ushul fiqh Mazhab Syafi’i, mendefinisikan ijtihad dengan ”upaya maksimal seorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syara’”. Imam al-Amidi, ahli ushul fiqh Mazhab Syafi’i lainnya, mendefinisikan ijtihad dengan ”mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum syara’ yang bersifat zanni (tidak jelas dan tegas), sehingga dirinya merasa tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu”.

B.Sejarah Ijtihad
Ijtihad sudah dimulai sejak masa-masa awal Islam. Kemudian berkembang pada masa-masa sahabat, tabiin, dan generasi selanjutnya hingga sekarang, sesuai dengan pasang surut dan ciri-ciri khas ijtihad pada masing-masing generasi.
Ijtihad pada masa Rasulullah Saw dapat dilihat antara lain dalam hadits yang diriwayatkan oleh ad-Darimi dari Umar bin al-Khattab. Dalam kasus Umar yang mencium dan memeluk istrinya dalam keadaan puasa, dan ia menganggap puasanya telah batal sehingga ia mempertanyakan hal itu, Rasulullah Saw menjawab dengan menganalogikan ”mencium istri” dengan ”kumur-kumur” di bulan Ramadhan. Rasulullah SAW berkata: ”Bagaimana pendapat engkau apabila engkau berkumur-kumur dengan air, apakah puasamu batal?” Umar menjawab: ”Menurut pendapatku hal itu tidak membatalkan puasa.” Lalu Rasulullah SAW mengatakan: ”Kalau begitu, teruskan puasamu” (HR. ad-Darimi dari Umar bin al-Khattab).
Kasus diatas, menurut ulama ushul fiqh, merupakan isyarat yang jelas bahwa ijtihad itu telah dimulai pada masa Rasulullah Saw. Upaya ini dilakukan Rasulullah Saw dalam mendidik para sahabat untuk melakukan ijtihad ketika kasus yang dihadapi tidak ada ketentuan hukumnya secara pasti dalam Al-Qur’an dan sunah. Akan tetapi, status hasil ijtihad para sahabat pada masa ini yang diakui oleh Rasulullah Saw sendiri menjadi sunnah taqririyyah (sunah yang berbentuk ketetapan). Para ahli ushul fiqh sepakat bahwa tidak boleh ada hasil ijtihad lain yang bertentangan dengan hasil ijtihad para sahabat yang diakui oleh Rasulullah Saw, karena hasil ijtihad yang diakui oleh Rasulullah Saw tersebut sama dengan nas dan hasil ijtihad tidak boleh bertentangan dengan nas. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan setelah Rasulullah Saw wafat. Karena tidak ada pengakuan dari Rasulullah Saw, hasil ijtihad itu hanya wajib dilaksanakan oleh mujtahid yang bersangkutan. Apabila mujtahid lain melakukan ijtihad dalam kasus yang sama, maka hasilnya boleh saja berbeda dengan hasil ijtihad mujtahid pertama.
Setelah Rasulullah Saw wafat, persoalan yang dihadapi para sahabat semakin berkembang dan rumit. Kebanyakan dari persoalan itu tidak ada didalam Al-Qur’an dan sunah. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, para sahabat melakukan ijtihad, baik secara bersama-sama melalui musyawarah maupun secara pribadi. Perbedaan hasil ijtihad pada masa sahabat tidak dapat dihindarai, karena masing-masing sahabat yang melakukan ijtihad memakai metode tertentu, seperti kias atau al-maslahah (maslahat). Tokoh-tokoh mujtahid yang menonjol pada masa sahabat antara lain: Abu Bakar as-Siddiq (573-634), Umar bin al-Khattab (581-644), Usman bin Affan (576-656), Ali bin Abi Thalib (603-661), Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas), Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), Mu’az bin Jabal, dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar). Para ahli fiqh menyebut perkembangan ijtihad pada masa ini sebagai fase permulaan dan persiapan fiqh Islam.
Tradisi saling menghargai ijtihad yang diwariskan para sahabat berlanjut terus pada masa tabiin yang tersebar diseluruh wilayah kekuasaan Islam. Hasil ijtihad para tabiin bermunculan dan gairah ijtihad pun semakin kuat, karena beragam persoalan dari berbagai budaya semakin menantang para tabiin untuk melakukan ijtihad. Para ahli fiqh menyebut ijtihad pada masa ini dengan ”fase pembinaan dan pembukuan fikih Islam”. Fase ini berlangsung selama 250 tahun, sejak awal abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H. Pada masa ini, aktifitas ijtihad memuncak; sering disebut dengan ”periode ijtihad dan masa keemasan fiqh Islam”. Pada masa periode ijtihad dan masa keemasan fiqh Islam inilah banyak muncul Imam, seperti: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Setelah periode ijtihad dan keemasan fiqh Islam berakhir, dunia ijtihad mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan ulama masing-masing mazhab yang sudah terbentuk lebih mempertahankan pendapat mazhabnya daripada berijtihad langsung kepada Al-Qur’an dan sunah. Pada masa ini, perkembangan fiqh pun mulai lambat. Keadaan seperti ini berlangsung hingga abad ke-13 H, dan sering disebut periode ”taklid dan tertutupnya pintu ijtihad”.

C.Kehujjahan Ijtihad
Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nas tidak dijumpai hukum yang akan diterapkan pada suatu kasus, maka seseorang mujtahid boleh melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama. Hasil ijtihad itu wajib diterapkannya, tetapi tidak wajib diikuti oleh mujtahid yang lain. Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila hanya ada seorang mujtahid di suatu negeri, maka kewajiban berijtihad terpikul ke pundaknya; dalam ushul fiqh disebut dengan wajib ’aini (kewajiban secara pribadi).

Asy-Syaikh Muhammad Khudloriy mengemukakan hukum-hukum ijtihad itu sebagai berikut:
1.Wajib ’aini, yaitu bagi seseorang yang ditanyai akan sesuatu peristiwa, dan peristiwa itu akan hilang sebelum diketahui. Atau ia sendiri mengalami sesuatu peristiwa yang ia sendiripun mengetahuinya.
2.Wajib kifa’i, yaitu apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukum-hukumnya, dan disamping itu masih ada mujtahid yang lain.
3.Sunnah (annadbu), yaitu hukum atas sesuatu yang belum terjadi, baik hal itu ditanyakan atau tidak.

D.Pembagian Ijtihad
Aktivitas ijtihad sejak masa Rasulullah Saw sampai sekarang masih berjalan. Adakalanya seorang mujtahid melakukan ijtihad langsung kepada Al-Qura’an dan sunah, ada yang melakukan ijtihad dengan cara menyaring dan men-tarjih (menguatkan) hasil ijtihad fakih sebelumnya, dan adakalanya seorang mujtahid melakukan ijtihad dengan menerapkan hukum ijtihad yang sudah ada. Oleh karena itu, para ahli ushul fiqh membagi ijtihad tersebut sesuai dengan objeknya masing-masing.
Dari segi relevansi ijtihad untuk masalah-masalah kontemporer, Yusuf al-Qardawi membagi ijtihad atas ijtihad intiqa’i/tarjihi dan ijtihad insya’i. Sedangkan dari segi objek kajian ijtihad, Imam asy-Syatibi membagi ijtihad atas ijtihad istinbati dan ijtihad tatbiqi.
Menurut Yusuf al-Qardawi, ijtihad intiqai atau ijtihad tarjihi merupakan ijtihad yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat ahli fiqh terdahulu dalam masalah tertentu, seperti terdapat dalam kitab-kitab fiqh, dengan menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan untuk diterapkan dalam kondisi sekarang.
Ijtihad tarjihi/intiqa’i berbeda dengan kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ulama terdahulu. Apabila diteliti berbagai referensi ushul fiqh, maka akan ditemui bahwa kegiatan tarjih yang dilakukan mujtahid at-tarjih pada zaman dahulu hanya terbatas pada permasalahan yang ada pada mazhab tertentu, dengan senantiasa mengacu kepada ushul atau kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh imam mazhab yang bersangkutan. Mujtahid at-tarjih seperti ini dalam usul fikih disebut juga dengan mujtahid muqayyad.
Ijtihad insya’i (ijtihad kreatif) adalah mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama fiqh terdahulu. Dalam melakukan ijtihad terhadap permasalahan lama atau baru, seorang mujtahid menghasilkan pendapat yang berbeda sama sekali dengan pendapat ulama terdahulu. Terhadap permasalahan yang pernah muncul pada zaman dahulu, mujtahid munsyi’ (mujtahid yang melakukan ijtihad insya’i) mengemukakan pendapat baru; sedangkan untuk permasalahan baru, ia berupaya untuk menentukan hukumnya dengan meneliti dan memahami secara menyeluruh kasus yang dihadapi sehingga dapat ditentukan hukumnya dengan tepat dan tujuan syari’at dapat tercapai.
Adapun asy-Syatibi membagi ijtihad dari segi objek kajiannya atas dua macam, yaitu ijtihad istinbati dan ijtihad tatbiqi. Apabila seorang mujtahid berhadapan dengan nusus asy-syari’ah (teks-teks syari’at [Al-Qur’an dan sunah]) dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung dalam nusus, maka ijtihad yang dilakukannya disebut dengan ijtihad istinbati. Hasil ijtihad yang diperolehnya itu akan dijadikan tolak ukur terhadap suatu masalah yang ditetapkan hukumnya.
Apabila seorang mujtahid telah menemukan ide atau substansi hukum dari nusus asy-syari’ah, maka untuk menerapkan ide hukum tersebut kepada suatu kasus secara konkret, diperlukan pula suatu bentuk ijtihad. Bentuk ijtihad yang dimaksud adalah ijtihad tatbiqi.
Menurut Dr. Dawalibi yang sesuai dengan pendapat asy-Syatibi dalam kitab al-Muwafakat, yaitu:
1. Ijtihad al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum–hukum syara’ dari nas.
2. Ijtihad al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah dengan menggunakan metode qiyas.
3. Ijtihad al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Sedangkan menurut Muhammad Jaziyu al-Hakim, ijtihad di bagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya di dasarkan pada akal tidak menngunakan dalil syara’. Misalnya, menjaga kemudharatan, hukuman itu jelek bila tidak di sertai penjelasan dll.
2. Ijtihad Syar’i, yaitu ijtihad yang di dasarkan pada syara’ termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istishlah dan lain-lain.

E.Metode Ijtihad
Ijtihad sebagai salah satu upaya penggalian hukum Islam yang cukup dinamis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui kaidah-kaidah kebahasaan, seperti meneliti kehendak lafal melalui teks yang ‘amm (umum), khass (khusus), muqayyad (terbatas), mujmal (secara keseluruhan dan umum), mubayyan (jelas), mantuq (makna yang langsung dapat dipahami dari dalil), mafhum (makna yang dipahami dari dalil secara tersirat, musytarak (mengandung beberapa arti), dan mu’awwal (yang ditakwil). Kedua, melalui kaidah-kaidah syar’iyyah yang diinduksi melalui cara yang ditempuh Syari’ dalam menetapkan hukum dan tujuan yang hendak dicapai dalam pensyari’atan hukum tersebut. Jika metode ijtihad dari segi kebahasaan ditujukan kepada teks Al-Qur’an dan sunah, maka metode syar’iyyah (yang berdasarkan kaidah-kaidah syar’i) berupaya menggali hukum Islam melalui makna yang ingin dicapai Syari’ melalui pensyari’atan hukum. Konsep seperti ini dikenal dalam ushul fiqh dengan maqasid asy-syari’ah. Metode ijtihad dalam bentuk kedua ini dipergunakan ketika hukum yang pasti dalam kasus yang dihadapi tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau sunah, dan belum ada ijma’ ulama terhadap hukumnya.

F.Syarat-Syarat Mujtahid
Ulama ushul fiqh telah menetapkan berbagai persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid:
1.Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Al-Qur’an. Ulama sepakat bahwa seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al-Qur’an dengan ilmu yang terkait dengannya, termasuk asbab an-nuzul (sebab turunnya ayat), serta nasikh (ayat yang membatalkan ayat sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dibatalkan oleh ayat yang datang kemudian).
2.Memiliki pengetahuan yang baik tentang sunah Rasulullah Saw. Pengetahuan tersebut harus dimiliki seorang mujtahid karena sunah merupakan penjelas (al-bayan) dari Al-Qur’an dan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an.
3.Mengetahui persoalan-persoalan yang menjadi ijma’ (consensus) ulama terdahulu. Seorang mujtahid dituntut untuk mengetahui seluk-beluk ijma’ serta persoalan-persoalan yang telah disepakati hukumnya oleh ulama. Pengetahuan tersebut diperlukan agar mujtahid yang bersangkutan tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum ijma’ ulama terdahulu.
4.Mengetahui bahasa Arab. Pengetahuan yang baik tentang seluk-beluk bahasa Arab sangat dituntut dari seorang mujtahid, karena Al-Qur’an dan sunah menggunakan bahasa Arab. Dengan demikian, seorang mujtahid tidak mungkin meng-istinbatkan-kan hukum dari kedua sumber tersebut jika tidak memahami bahasa Arab dengan baik. Akan tetapi, Wahbal az-Zuhaili mengatakan bahwa seorang mujtahid tidak dituntut menghafal sepenuhnya seluk-beluk bahasa Arab seperti nahwu, sharaf, dan balaghah, tetapi disyaratkan mempunyai kemampuan untuk merujuk pengertian dan seluk-beluk bahasa tersebut dari kitab-kitab standard yang ada.
5.Menguasai ilmu ushul fiqh. Seorang mujtahid harus memahami ilmu ushul fiqh secara baik, karena dalam ilmu itu dapat diketahui kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk meng-istinbat-kan hukum syara’ dari Al-Qur’an dan sunah; apakah peristiwa yang akan dicari hukumnya ditunjuk secara jelas oleh nas, atau peristiwa itu tidak sama sekali dibicarakan secara jelas oleh nas.
6.Memahami maqasid asy-syari’ah (maksud-maksud syara’). Secara jeli dan baik. Syarat ini diperlukan oleh seorang mujtahid, karena dalam memahami dan menerapkan hukum-hukum yang dikandung oleh nusus terhadap persoalan hukum yang dihadapinya harus senantiasa mengacu kepada maksud Allah Swt dalam mensyari’atkan hukum.
Persyaratan-persyaratan yang disebutkan di atas merupakan persyaratan intelektual yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Di samping itu, dalam literatur ushul fiqh ulama juga memberikan syarat yang terkait integritas pribadi, seperti beriman, dewasa, berakal sehat serta memiliki pemahaman yang mendalam dan tajam.

G.TINGKATAN MUJTAHID
Tingkatan para mujtahid terbagi dalam lima tingkatan:
1.Mujtahid Mustaqil: adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri.
2.Mujtahid Mutlaq Ghairu Mustaqil: adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil namun tidak menciptakan sendiri tetapi mengikuti metode salah satu mazhab.
3.Mujtahid Muqayyad / Takhrij: adalah mujtahid yang terikat oleh madzab imamnya, memang diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya tetapi tidak boleh keluar dari kaedah-kaedah yang di pakai imamnya
4.Mujtahid Tarjih: adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi ia seorang fakih yang menghafal mazhab Imamnya serta mengetahui secara baik kaidah-kaidah Imam mazhabnya.
5.Mujtahid Fitya: adalah mujtahid yang kemampuannya hanya menghafal mazhabnya sendiri dan berusaha menjelaskan persolan-persoalan yang sulit dalam mazhabnya kepada masyarakat.

H.Hal-Hal Yang Boleh DiIjtihadi
Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat dalam nash yang jelas dan pasti. Jika kejadian yang hendak di ketahui hukum syar’inya itu telah di tunjukkan oleh dalil yang jelas dan petunjuk serta maknanya pasti, maka tidak ada peluang untuk ijtihad. Yang wajib adalah melaksanakan pemahaman yang di tunjukkan nash karena selama dalil itu pasti datangnya, maka ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya bukan menjadi obyek pembahasan.
Dalam firman Allah yang Artinya : “dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat’”. Setelah sunah perbuatan nabi menjelaskan maksud dari sholat atau zakat, maka tidak ada peluang berijtihad dalam menjelaskan pengertian keduanya. Apabila kejadian yang hendak di ketahui hukumnya terhadap nash yang makna dan datangnya dugaan salah satunya saja, maka keduanya mempunyai peluang ijtihad karena mujtahid itu meneliti dalil dugaan datangnya dari sanad-nya. Cara sampainya kepada kita dari Rasulullah dan tingkat keaslian, kekuatan ingatan kepercayaan serta kejujuran para rawinya.
Apabila ijtihad mujtahid mengenai sanad itu telah membuat dia percaya tentang periwayatan dan kejujuran rawinya, maka dia boleh berijtihad untuk mengetahui hukum yang di tunjukkan oleh dalil dan peristiwa yang di terapkan kepada hukum itu. Hal-hal yang di jadikan pedoman dalam ijtihadnya antara lain kaedah dasar dari segi bahasa, tujuan perundingan hukum syara’, dasar atau kaidah umum dan nash lain yang menjelaskan hukum. Dari sini ia dapat menyimpulkan apakah nash itu dapat di terapkan untuk kejadian ini atau tidak.
Sehingga secara umum lapangan hukum Islam yang tidak boleh menjadi objek ijtihad adalah :
1.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i, baik kedudukannya maupun pengertiannya.
2.Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh suatu nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama, tetapi telah disepakati oleh para mujtahid dari suatu masa.
Adapun hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad, seperti yang dikemukakan oleh Abdullah Wahhab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rasulullah Saw, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dikategorikan kedalam tiga macam (Effendi, 2008;251):
1. Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang yang tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir. Hadits Ahad dari segi kepastian datangnya dari Rasulullah Saw hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zhanni) dalam arti tidak tertutup kemungkinan adannya pemalsuan meskipun sedikit.
2. Lafal-lafal atau redaksi Al-Qur’an atau Hadits yang menunujukkan pengertiannya secara tegas (zhanni) sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi itu.
3. Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau Hadits dan tidak pula ada ijma’ yang menjelaskannya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.

I.Peranan Ijtihad Dalam Perkembangan Hukum Islam
Ijtihad adalah nafasnya hukum Islam. Oleh karena itu, jika kegiatan ijtihad ini terhenti, maka hukum Islam pun terhenti perkembangannya, sebaliknya jika kegiatan ijtihad itu terlalu dinamis, produk-produk hukumnya akan akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakatnya.
Ada dua penyebab utama yang menuntut pembahasan hukum lewat kajian ijtihad, yaitu terdapatnya nash-nash yang zhanni, baik di lihat dari sudut dilalahnya (nash-nash yang bermakna ganda) maupun dari sudut wurudnya (hadits nabi yang tidak mutawatir). Dan kedua, berkembangnya fenomena temporer yang senantiasa menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para mujtahid dalam hukum Islam. Para ijtihad dalam hukum islam itu tiada lain adalah dalam rangka memberikan jawaban-jawaban hukum untuk berbagai persoalan temporer yang di hadapi para mujtahid, yang dapat di tempuh melalui dua corak ijtihad, yaitu ijtihad lafdzi dan aqli. Dan adanya kontinuitas dalam pembahasan hukum lewat ijtihad, akan menjamin ketentuan-ketentuan hukum itu tetap actual dalam kehidupan masyarakat dan tidak tertinggal oleh dinamika kehidupan sosial, serta khazanah hukum Islam akan semakin kaya.

J.Fungsi Ijtihad
Faqih atau Fuqaha melakukan ijtihad apabila dalam suatu peristiwa yang terjadi tidak ada dasar hukum atau petunjuk nash-nash Al-Qur’an.
Manusia secara kodrati terdiri atas jasmani dan rohani. Rohani itu berfungsi untuk memahami apa yang dilihat oleh manusia, apa yang dialami oleh akal pikiran yang sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dalam jagat raya ini. Sekalipun tidak ada petunjuk dari agama, manusia dapat menggunakan akalnya untuk memperoleh kebahagiaan hidupnya.
Imam al-Syafi’i menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an dengan menegaskan: “ Maka tidak terjadi suatu pristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya . Oleh karena itu Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu (Effendi, 2008 ; 249).
Pernyataan imam Syafi’i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir seperti Hadits Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad. Dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah.

1 komentar: