Wakaf Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam
A. Pengertian Wakaf Tunai
Sejak awal, perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak sepert tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk diambil airnya, sedang wakaf benda yang bergerak baru mengemuka belakangan. Di antara wakaf benda bergerak yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang dikenal dengan istilah cash waaf. Cash waaf diterjemahkan dengan wakaf tunai, namun kalau menilik obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waaf diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Juga termasuk kedalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham, cek dan lainnya. Hukum wakaf tunai telah menjadi perhatian para fuqaha’ (juris Islam). Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf tunai. Imam al-Bukhari (wafat tahun 2526 H) mengungkapkan bahwa Imam az-Zuhri (wafat 124 H) berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata uang yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Wahbah az-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, karena sudah banyak masyarakat yang melakukannya. Mazhab Hanafi memang berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasrkan ‘urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks). Dasar argumentasi mazhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ma’ud, r.a: “Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum Muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.
Cara melakukan wakaf tunai (mewakafkan uang), menurut mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara mudharabah atau mubada’ah. Sedang keuntungannya disedekahkan kepada pihak wakaf.
Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf tunai yang dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di negeri lain wakaf tunai bukan merupakan kebiasaan. Karena itu Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah. Yang juga berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah adalah mazhab Syafi’i. menurut al-Bakri, mazhab Syafi’I tidak membolehkan wakaf tunai, karena dinar dan dirham (baca: uang) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya.
Perbedaan diatas, bahwa alasan boleh atau tidaknya wakaf tunai berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula, terpelihara, dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama? Namun kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang, sangat mungkin untuk melaksanakan wakaf tunai. Misalnya uang yang diwakafkan itu dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan oleh mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud saham di perusahaan yang bonafide atau didepositokan di perbankan Syari’ah, dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai wakaf. Wakaf tunai yang diinvestasikan dalam wujud saham atau deposito, wujud atau lebih tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu yang lama.
B. Sejarah Wakaf Tunai
Praktik wakaf secara umum, bukan wakaf tuna telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan masyarakat sebelum Islam telah mempraktikan sejenis wakaf, tapi dengan nama lain, bukan wakaf. Karena praktik sejenis wakaf telah ada di masyarakat sebelum Islam, tidak terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai kelanjutan dari praktik masyarakat sebelum Islam. Sedang wakaf tunai mulai di kenal sejak zaman dinasti Ayyubiyah di Mesir.
B.1. Wakaf Secara Umum
Praktik sejenis wakaf di masyarakat sebelum Islam dibuktikan dengan adanya tempat-tempat ibadah yang dibangun di atas tanah yang pekarangannya dikelola dan hasilnya untuk membiayai perawatan dan honor yang merawat tempat ibadah tersebut. Masjid al-Haram di Mekkah dan masjid al-Aqsha misalnya telah dibangun diatas tanah yang bukan hak milik siapapun, tetapi milik Allah. Kedua masjid itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Pertanyaannya, kenapa masyarakat sebelum Islam telah memperaktikkan sejenis wakaf? Di masyarakat sebelum Islam telah dikenal praktik sosial dan diantara praktik-praktik sosial itu adalah praktik menderma sesuatu demi kepentingan umum atau dari satu orang untuk semua keluarga.
Praktik sejenis wakaf juga dikenal di Mesir, Roma dan Jerman. Di Mesir, Raja Ramsi kedua mendermakan tempat ibadah “Abidus” yang arealnya sangat besar.
Karena praktik sejenis wakaf yang terjadi pada masyarakat sebelum Islam memiliki tujuan yang seiring dengan Islam, yaitu terdistribusinya kekayaan secara adil dan kemudian berujung pada kesejahteraan bersama, maka Islam mengakomodirkannya dengan sebutan wakaf. Pada tahun kedua hijriah, setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah, disyri’atkanlah wakaf. Di kalangan fuqaha’ (juris Islam) terdapat dua pendapat siapa yang mempraktikkan Syari’at wakaf. Pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri yang mempraktikkan wakaf pertama kali, yaitu ketika Nabi mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid diatasnya. Kedua, ada juga sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali mempraktikkan Syari’at wakaf adalah Umar bin Khattab. Argumentasi ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar ra, ketika Umar ra mendapat sebidang tanah di Khaibar.
Kita tidak dapat menverifikasi kedua pendapat diatas, karena argumentasi yang dibangun keduanya hanya didasarkan kepada hadis, namun tidak disebutkan kapan Nabi Muhammad SAW dan Umar mempraktikkan Syari’at wakaf.
B.2. Wakaf Tunai
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Pada masa ini, wakaf tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak semisal wakaf tunai. Tahun 1178 M/ 572 H, dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab sunni, Salahuddin al-Ayyubi menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandar itu membayar bea cukai dalam bentuk uang atau benda? Namun lazimnya bea cukai dibayar dengan menggunakan uang. Uang hasil pembayaran bea cukai dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha’ (juris Islam) dan para keturunannya.
Dinasti Mamluk juga mengembangkan wakaf dengan pesatnya. Apa saja boleh diwakafkan dengan syarat dapat diambil manfaatnya. Tetapi yang banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, sperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Juga, pada masa dinasti Mamluk terdapat hamba sahaya (budak) yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama.
Wakaf terus dilaksanakan di negara-negara Islam hingga sekarang, tidak terkecuali Indonesi. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa wakaf yang berasal dari agama Islam itu telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Dan juga di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tidak bergerak.
C. Dasar Hukum Wakaf Tunai
Wakaf tunai dibolehkan berdasarkan: firman Allah, Hadis Nabi dan pendapat Ulama, yaitu:
Firman Allah :
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkah kan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”. (QS : Ali Imran : 92).
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS : al-Baqarah : 261).
Hadis :
Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim)
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra: Ia berkata Umar ra berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi SAW berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.” (HR al-Nasa’i).
Pendapat Ulama :
Selain ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i juga membolehkan wakaf tunai.
“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham (uang)”.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf tunai. Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi didasarkan kepada hadis Ibn Umar (seperti yang disebutkan di atas). Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan definisi (baru) tentang wakaf, yaitu:
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.
D. Lingkup Sasaran Pemberi Wakaf Tunai (Wakif)
Salah satu rukun wakaf adalah wakif (orang yang mewakafkan harta). Orang yang mewakafkan harta (wakif) diisyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam hal membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria sebagai berikut :
a. Merdeka, wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik. Budak dan apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuannya.
b. Berakal sehat, wakaf yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal seperti orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga tidak sah wakaf orang yang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.
c. Dewasa (baligh), wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.
d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai), orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tapi berdasarkan istihsan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar