Powered By Blogger

Minggu, 16 Mei 2010

Peradilan Satu Atap "One Roof System"

1.Mengapa diperlukan peradilan satu atap dewasa ini di Indonesia?
2.Apa manfaat peradilan satu atap khususnya bagi peradilan agama?

Jawab

1.Sebelum reformasi dan empat kali amandemen UUD 1945, sistem kenegaraan kita memang sudah memiliki elemen-elemen dasar trias politika, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasan yudikatif, namun fungsi-fungsi idealnya tidak berjalan efektif mengingat begitu kuat dan dominannya unsur kepemimpinan eksekutif di zaman presiden Soeharto, sehingga pada masa ini sistem kenegaraan kita dikenal dengan system pembagian kekuasaan (division of power) yang tumpang tindih. Pasca reformasi sistem pembagian kekuasaan ini (division of power) dirombak sedemikian rupa mengarah pada sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) sehingga fungsi-fungsi kelembagaan Legislatif dan Yudikatif bisa berjalan mandiri, kuat dan efektif sebagaimana mestinya. Kekuasaan Yudikatif (Kekuasaan kehakiman) pada era reformasi mengarah pada upaya membentuk system peradilan mandiri dengan apa yang dikenal dengan “one roof system” atau system peradilan satu atap. Sebelumnya empat lingkungan peradilan secara teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung namun secara organisasi finansial berada dibawah departemen yang berbeda, Departemen Kehakiman untuk peradilan umun dan peradilan tata usaha negara, Departemen Pertahanan dan Mabes TNI untuk peradilan militer dan Departemen Agama bagi peradilan agama. Sistem peradilan satu atap menghendaki semua lembaga peradilan baik secara teknis yudisial maupun organisasi finansial berada di bawah pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi yaitu Mahkamah Agung. Pemisahan kekuasaan negara merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya demokrasi dan terciptanya supremasi hukum dalam sebuah negara hukum. Karena itu status dan kedudukan peradilan-peradilan yang ada di Indonesia yang sudah berada dibawah struktur kekuasaan kehakiman, merupakan wujud nyata dan tuntutan yang harus ada dari negara demokrasi dalam rangka menciptakan supremasi hukum, mengingat intervensi eksekutif secara struktural sudah dieleminir.

2.Sistem peradilan satu atap menghendaki semua lembaga peradilan baik secara teknis yudisial maupun organisasi finansial berada di bawah pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi yaitu Mahkamah Agung. Proses peralihan kekuasaan ini meskipun berat tetap berjalan dengan lancar, kecuali peradilan agama yang proses peralihannya sedikit mengalami perdebatan panjang, Departemen Agama dan MUI pada awalnya tidak mau melepaskan peradilan agama karena muatan-muatan historisnya yang panjang dan sangat melekat dengan umat Islam, mereka mengkhawatirkan ciri-ciri khas peradilan Islam ini akan memudar dan akhirnya hilang, namun anehnya, mayoritas aparatur peradilan agama sendiri sebagaimana diwakili para ketua Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia menghendaki penyatu atapan dilakukan dengan segera, alasan yang mendasarinya adalah masalah finansial yang terkait dengan pengelolaan peradilan agama itu sendiri yang dianggap sangat tidak memadai untuk sebuah system peradilan yang modern dan mandiri selama dibawah Departemen Agama. Permasalahan ini tidak bisa ditujukan pada kurangnya perhatian Departemen Agama terhadap peradilan agama, hal ini lebih disebabkan pos anggaran yang sangat terbatas pada masa-masa sebelumnya. Pada bagian struktur hukum, di era reformasi peradilan agama mengalami penguatan kelembagaan yang semakin mengokohkannya sebagai sebuah peradilan yang mandiri dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dilihat dari aspek ini jelas peradilan agama status dan kedudukannya sudah kuat sebagai pelaksana kekuasaaan kehakiman sebagaimana peradilan-peradilan lain, dengan demikian tidak akan ada perdebatan lagi mengenai kehadiran peradilan agama dalam system kekuasaan kehakiman. Manfaat yang paling besar yang dirasakan oleh peradilan agama dari system peradilan satu atap ini adalah dari segi finansialnya, dahulu peradilan agama yang sulit bersaing dengan peradilan lain dikarenakan terbatasnya dana yang dimilki sekarang sudah bisa bersaing dan dipandang oleh peradilan yang lain.

Selasa, 11 Mei 2010

Strategi Bersaing Dalam Kewirausahaan

Kompetensi Inti dan Strategi Bersaing dalam Kewirausahaan

A.Pendahuluan
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kesinambungan hidup perusahaan sangat bergantung pada ketahanan wirausaha dalam meraih keunggulan dalam bersaing melalui strategi yang dimilikinya. Strategi perusahaan adalah cara-cara perusahaan menciptakan nilai melalui konfigurasi dan koordinasi aktivitas multipemasaran. Teori ekonomi mikro dari mazhab Austria, dikemukakan bahwa perusahaan bisa memperoleh keuntungan apabila memiliki keunggulan yang unik untuk menghindari persaingan sempurna.
Dalam mata kuliah kewirausahaan, mahasiwa dituntut untuk mengerti dan memahami perkembangan stategi kewirausahaan dalam konteks persaingan. Mahasiswa juga dituntut untuk bisa menjelaskan strategi generik dan keunggulan bersaing dalam kewirausahaan dan juga bisa menjelaskan konsep 7’-S” dalam memasuki persaingan. Semua ini dimaksudkan apabila mahasiswa telah mempunyai suatu bidang usaha, mereka mampu mengembangkan dan mempertahankan usaha mereka tersebut.

B.Kompetensi Inti Kewirausahaan
Dalam manajemen perusahaan modern seperti sekarang ini telah terjadi pergeseran strategi, yaitu dari strategi memaksimalkan keuntungan pemegang saham (mencari laba perusahaan) menjadi memaksimalkan keuntungan bagi semua yang berkepentingan dalam perusahaan (stakeholder), yaitu individu atau kelompok yang memiliki kepentingan dalam kegiatan perusahaan, tidak hanya pemegang saham, namun juga karyawan, manajemen, pembeli, masyarakat, pemasok, distributor, dan pemerintah. Akan tetapi, konsep laba tidak bisa dikesampingkan dan merupakan alat yang penting bagi perusahaan untuk menciptakan manfaat bagi para pemilik kepentingan.
Menurut teori strategi dinamis dari Porter (1991), perusahaan dapat mencapai keberhasilan bila tiga kondisi dipenuhi, yaitu:
Pertama, tujuan perusahaan dan kebijakan fungsi-fungsi manajemen (seperti produksi dan pemasaran) harus secara kolektif memperlihatkan posisi terkuat dipasar.
Kedua, tujuan dan kebijakan tersebut ditumbuhkan berdasarkan kekuatan perusahaan serta diperbarui terus (dinamis) sesuai dengan perubahan peluang dan ancaman lingkungan eksternal.
Ketiga, perusahaan harus memiliki dan menggali kompetensi khusus sebagai pendorong untuk menjalankan perusahaan.
Dalam menghadapi persaingan yang semakin kompleks dan krisis eksternal, perusahaan kecil dapat menerapkan teori “strategi berbasis sumber daya” (resources-based strategy). Teori ini dinilai potensial untuk memelihara keberhasilan perusahaan ketika berada dalam situasi eksternal yang bergejolak. Menurut teori ini, perusahaan dapat meraih keuntungan melalui penggunaan sumber daya yang lebih baik, yaitu dengan:
1.Pola organisasi dan administrasi yang baik.
2.Perpaduan asset fisik berwujud seperti sumber daya manusia dan alam, serta asset tidak berwujud seperti kebiasaan berfikir kreatif dan keterampilan manajerial.
3.Budidaya perusahaan.
4.Proses kerja dan penyesuaian yang cepat atas tuntutan baru.

C.Strategi Bersaing dalam Kewirausahaan
Dalam konsep strategi pemasaran terdapat istilah bauran pemasaran (marketing mix) yang dikenal dengan 4P. Dalam kewirausahaan, 4P tersebut ditambahkan satu P, yaitu probe (penelitian dan pengembangan) sehingga menjadi 5P. Probe selalu ditambahkan diawal sehingga urutan bauran pemasaran menjadi:
1.Probe (penelitian dan pengembangan)
2.Product (barang dan jasa)
3.Price (harga)
4.Place (tempat)
5.Promotion (promosi)
Dalam manajemen strategis yang baru, Mintzberg mengemukakan 5P yang sama artinya dengan strategi, yaitu perencanaan (plan), pola (patern), posisi (position), perspektif (perspective), dan permainan atau taktik (plan).

D.Teori StrategiGenerik dan Keunggulan Bersaing
Dalam karyanya yang paling terkenal Competitive Strategy, Michael P. Porter (1997 dan 1998 mengungkapkan beberapa strategi yang dapat digunakan perusahaan untuk dapat bersaing. Beberapa aspek inti dari teori Porter tersebut adalah:
1)Persaingan merupakan inti keberhasilan dan kegagalan.
2)Keunggulan bersaing berkembang dari nilai yang mampu diciptakan oleh perusahaan bagi langganan atau pembeli.
3)Ada dua jenis dasar keunggulan bersaing, yaitu biaya rendah dan diferensiasi.
4)Kedua jenis dasar keunggulan bersaing diatas menghasilkan tiga strategi generic (Porter,1997: 11-13)

(a)Biaya Rendah. Strategi ini mengandalkan keunggulan biaya yang relative rendah daam menghasilkan barang dan jasa. Keunggulan biaya berasal dari:
•Pengerjaan berskala ekonomis
•Teknologi milik sendiri
•Akses prefensi ke bahan baku

(b)Diferensiasi. Strategi ini berasal dari kemampuan perusahaan untuk menghasilkan barang dan jasa yang unik dalam industrinya dan dalam semua dimensi umum yang dihargai oleh konsumen. Diferensiasi dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, antara lain:
•Diferensiasi produk
•Diferensiasi system penyerahan / penyampaian produk
•Diferensiasi dalam pendekatan pemasaran
•Diferensiasi dalam peralatan dan konstruksi
•Diferensiasi dalam citra produk

(c)Focus. Strategi focus berusaha mencari keunggulan dalam segmen sasarab pasar tertentu meskipun tidak memiliki keunggulan bersaing secara keseluruhan. Terdapat dua focus, yaitu:
•Focus biaya, dilakukan dengan mengusahakan keunggulan biaya dalam segmen sasarannya
•Focus diferensiasi, dilakukan dengan mengusahakan diferensiasi dalam segmen sasarannya, yaitu pembeli dengan pelayanan yang baik dan berbeda dengan yang lain
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi generic pada dasarnya merupakan pendekatan yang berbeda untuk menciptakan keunggulan. Melalui keunggulan bersaing, perusahaan dapat memiliki kinerja diatas rata-rata perusahaan lain. Keunggulan bersaing merupakan kinerja perusahaan yang dapat tampil diatas rata-rata.

E.Strategi The New 7-S’s (D’Aveni)
Konsep “The New 7-S’s” atau 7 kunci keberhasilan perusahaan dalam lingkungan persaingan yang sangat dinamis ini meliputi pokok-pokok dasar sebagai berikut:
(1)Superior stakeholder satisfaction. Strategi yang pertama dari The New 7-S’s ini bertujuan memberikan kepuasan jauh di atas rata-rata kepada orang-orang yang berkepentingan terhadap perusahaan, tidak hanya pemegang saham, namun juga pemasok, karyawan, manajer, konsumen, pemerintah, dan masyarakat sekitarnya.
(2)Soothsaying. Strategi yang kedua ini berfokus kepada sasaran, artinya perusahaan harus mencari posisi yang tepat bagi produk dan jasa yang dihasilkan perusahaan.
(3)Positioning for speed. Strategi ketiga adalah strategi dalam memosisikan perusahaan secara cepat di pasar.
(4)Positioning for surprise. Strategi keempat adalah membuat posisi yang mencengangkan melalui barang dan jasa baru yang lebih unik dan berbeda serta memberikan nilai tambah baru sehingga konsumen lebih menyukai barang dan jasa yang diciptakan perusahaan.
(5)Shifting the role of the game. Strategi kelima adalah mengubah pola-pola persaingan perusahaan yang dimainkan sehingga pesaing terganggu dengan pola-pola baru yang berbeda.
(6)Signalling strategic intent. Strategi keenam adalah mengutamakan perasaan. Kedekatan dengan karyawan, relasi, dan konsumen merupakan strategi yang ampuh untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
(7)Simultaneous and sequential strategic thrusts. Strategi ketujuh adalah menegmbangkan factor-faktor pendorong atau penggerak strategi secara simultan san berurutan memlalui penciptaan barang dan jasa yang selalu memberi kepuasaan kepada konsumen.

Senin, 10 Mei 2010

Kejahatan dan Hal-hal Yang Bisa Menguranginya

1.Apa sebenarnya kejahatan itu ?
2.Langkah-langkah apa saja yang dapat ditempuh untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi kejahatan apabila mengacu kepada konsep kriminologi !

JAWAB

1.Banyak pengertian tentang kejahatan yang diungkapkan oleh para ahli kriminologi. Antara lain:

Menurut Hari Saherodji kejahatan adalah: Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu dan yang dilakukan dengan sengaja, merugikan ketertiban umum dan yang dapat dihukum oleh Negara.

Bonger menayatakan bahwa kejahatan adalah merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.

R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.

J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks Dalam Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.
Paul W Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah The Criminal Law (statutory or case law), commited without defense or excuse, and penalized by the state as a felony and misdemeanor.

Huge D Barlow juga menyatakan bahwa definisi dari kejahatana adalah a human act that violates the criminal law.

Sutherland menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatab yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai pamungkas.

J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial
yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam
masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara
harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.

M.A. Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam
masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat
dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.

Menurut Paul Moedikdo Moeliono kejahatan adalah perbuatan pelanggaran
norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan
yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).


2.Langkah-langkah untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi kejahatan bisa dilakukan dengan cara melihat apa saja yang menjadi penyebab seseorang tersebut melakukan tindakan kejahatan. Contohnya, di dalam ilmu kriminologi ada beberapa penyebab yang menjadikan sesorang melakukan tindakan kejahatan, yaitu;

1.Adanya perbedaan tingkat kehidupan dimasyarakat. Perbedaan kehidupan antara orang yang kaya dan orang yang miskin dapat menyebabkan terjadinya kecemburuan kepada orang yang miskin. Orang yang kehidupannya miskin terkadang mendapatkan banyak cemoohan dari orang-orang yang kehidupannya kaya. Dengan adanya kecemburuan social yang terjadi antara orang yang miskin kepada orang yang kaya menyebabkan orang-orang yang miskin melakukan hal-hal yang instan untuk mendapatkan kehidupan yang sama dengan orang yang kaya. Orang-orang yang hidup pada kemiskinan sangat rentan melakukan kejahatan, contohnya perampokan, penodongan, pencurian. Untuk mengatasi hal seperti ini dapat dilakukan dengan cara pemberdayaan manusia dan peningkatan kualitas diri dari pemerintah dengan cara mengadakan pelatihan-pelatihan bagi orang yang tidak mampu untuk meningkatkan skill mereka supaya dapat bekerja dan mempunyai penghasilan yang layak. Kemudian juga pemerintah dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi para pengangguran agar mereka juga mempunyai penghasilan. Selain itu, kepada orang-orang yang memiliki kehidupan yang lebih layak supaya sedikit agak peka akan keadaan sekitarnya. Perlu diketahui bahwa kita hidup di dunia ini membutuhkan bantuan dari orang lain.

2.Suatu kejahatan juga bisa timbul karena adanya pelabelan dari masyarakat. Di dalam kehidupan bermasyarakat kita pasti akan menemukan orang-orang yang berkelakuan baik dan orang-orang yang berkelakuan jahat. Perlu diketahui, terkadang seseorang melakukan kejahatan bukan karena dia ingin melakukan kejahatan tersebut, tetapi orang tersebut melakukan kejahatan karena adanya keadaan yang memaksanya untuk melakukan kejahatan itu. Orang-orang yang telah melakukan kejahatan baik itu karena keinginan orang itu sendiri atau terpaksa biasanya akan mendapatkan label atau cap di masyarakat yang tinggal dilingkungannya sebagai seorang penjahat. Hal ini akan menjadi sebuah tekanan psikologis bagi orang yang telah mendapatkan label tersebut. Sehingga akan menjadi dampak yang lebih besar kepada orang yang telah mendapatkan label tersebut. Sebaiknya kepada masayarakat yang dilingkungannya terdapat orang yang pernah melakukan kejahatan, seyogyanya membina dan menasehati orang yang telah melakukan kejahatan tersebut agar untuk tidak mengulangi kejahatannya. Masyarakat juga bisa memberdayakannya dengan memberikan pekerjaan agar seseorang tersebut mempunyai penghasilan dan menjahui kejahatan.

3.Kejahatan terus terjadi bisa juga karena kurangnya hukuman yang diberikan kepada para pelaku kejahatan. Sehingga efek jera yang diharapkan akan berdampak baik kepada penjahat malah tidak terjadi.

4.Faktor ekonomi bisa dikatakan penyebab utama dari sesorang melakukan kejahatan.

5.Peningkatan iman dan takwa bisa menjadi salah satu cara untuk menekan angka kejahatan yang terjadi di masyarakat

6.Pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kualitas diri

Jumat, 07 Mei 2010

Ijtihad & Mujtahid

A.Pengertian Ijtihad
Ijtihad yang berasal dari kata (asal mula katanya) ijtahada artinya adalah : mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban. Usaha sungguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk mencapai putusan syarak (hukum Islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw.
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, di antaranya: (Juhaya, 2007;102)
Firman Allah Swt :
إنا انزلنا اليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بمآ اراك الله . (النساء: )
”Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepada kamu.”
Dari sunah, yang membolehkan ijtihad :
إذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله أجران واذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
“Jika seorang hakim menghukum sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala."
Ada beberapa rumusan ijtihad yang dikemukakan ulama. Perbedaan definisi pada umumnya berawal dari pendekatan yang digunakan. Bagi ulama yang melakukan pendekatan melalui pemikiran holistik dan integral, ijtihad diartikan dengan ”segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, seperti fiqh, teologi, filsafat, dan tasawuf”. Adapun ulama ushul fiqh melihat ijtihad sebagai aktivitas nalar yang berkaitan dengan masalah fiqh. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa upaya memahami masalah-masalah teologi, filsafat, dan tasawuf dari nas tidak dinamakan sebagai aktivitas ijtihad. Akan tetapi, ulama ushul fiqh ini dalam merumuskan ijtihad secara terminologis pun berbeda pendapat. Meskipun perbedaan tersebut tidak terlalu tajam, pada gilirannya perbedaan tersebut berpengaruh terhadap kedudukan dan bidang kajian ijtihad.
Imam al-Ghazali, ahli ushul fiqh Mazhab Syafi’i, mendefinisikan ijtihad dengan ”upaya maksimal seorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syara’”. Imam al-Amidi, ahli ushul fiqh Mazhab Syafi’i lainnya, mendefinisikan ijtihad dengan ”mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum syara’ yang bersifat zanni (tidak jelas dan tegas), sehingga dirinya merasa tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu”.

B.Sejarah Ijtihad
Ijtihad sudah dimulai sejak masa-masa awal Islam. Kemudian berkembang pada masa-masa sahabat, tabiin, dan generasi selanjutnya hingga sekarang, sesuai dengan pasang surut dan ciri-ciri khas ijtihad pada masing-masing generasi.
Ijtihad pada masa Rasulullah Saw dapat dilihat antara lain dalam hadits yang diriwayatkan oleh ad-Darimi dari Umar bin al-Khattab. Dalam kasus Umar yang mencium dan memeluk istrinya dalam keadaan puasa, dan ia menganggap puasanya telah batal sehingga ia mempertanyakan hal itu, Rasulullah Saw menjawab dengan menganalogikan ”mencium istri” dengan ”kumur-kumur” di bulan Ramadhan. Rasulullah SAW berkata: ”Bagaimana pendapat engkau apabila engkau berkumur-kumur dengan air, apakah puasamu batal?” Umar menjawab: ”Menurut pendapatku hal itu tidak membatalkan puasa.” Lalu Rasulullah SAW mengatakan: ”Kalau begitu, teruskan puasamu” (HR. ad-Darimi dari Umar bin al-Khattab).
Kasus diatas, menurut ulama ushul fiqh, merupakan isyarat yang jelas bahwa ijtihad itu telah dimulai pada masa Rasulullah Saw. Upaya ini dilakukan Rasulullah Saw dalam mendidik para sahabat untuk melakukan ijtihad ketika kasus yang dihadapi tidak ada ketentuan hukumnya secara pasti dalam Al-Qur’an dan sunah. Akan tetapi, status hasil ijtihad para sahabat pada masa ini yang diakui oleh Rasulullah Saw sendiri menjadi sunnah taqririyyah (sunah yang berbentuk ketetapan). Para ahli ushul fiqh sepakat bahwa tidak boleh ada hasil ijtihad lain yang bertentangan dengan hasil ijtihad para sahabat yang diakui oleh Rasulullah Saw, karena hasil ijtihad yang diakui oleh Rasulullah Saw tersebut sama dengan nas dan hasil ijtihad tidak boleh bertentangan dengan nas. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan setelah Rasulullah Saw wafat. Karena tidak ada pengakuan dari Rasulullah Saw, hasil ijtihad itu hanya wajib dilaksanakan oleh mujtahid yang bersangkutan. Apabila mujtahid lain melakukan ijtihad dalam kasus yang sama, maka hasilnya boleh saja berbeda dengan hasil ijtihad mujtahid pertama.
Setelah Rasulullah Saw wafat, persoalan yang dihadapi para sahabat semakin berkembang dan rumit. Kebanyakan dari persoalan itu tidak ada didalam Al-Qur’an dan sunah. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, para sahabat melakukan ijtihad, baik secara bersama-sama melalui musyawarah maupun secara pribadi. Perbedaan hasil ijtihad pada masa sahabat tidak dapat dihindarai, karena masing-masing sahabat yang melakukan ijtihad memakai metode tertentu, seperti kias atau al-maslahah (maslahat). Tokoh-tokoh mujtahid yang menonjol pada masa sahabat antara lain: Abu Bakar as-Siddiq (573-634), Umar bin al-Khattab (581-644), Usman bin Affan (576-656), Ali bin Abi Thalib (603-661), Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas), Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), Mu’az bin Jabal, dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar). Para ahli fiqh menyebut perkembangan ijtihad pada masa ini sebagai fase permulaan dan persiapan fiqh Islam.
Tradisi saling menghargai ijtihad yang diwariskan para sahabat berlanjut terus pada masa tabiin yang tersebar diseluruh wilayah kekuasaan Islam. Hasil ijtihad para tabiin bermunculan dan gairah ijtihad pun semakin kuat, karena beragam persoalan dari berbagai budaya semakin menantang para tabiin untuk melakukan ijtihad. Para ahli fiqh menyebut ijtihad pada masa ini dengan ”fase pembinaan dan pembukuan fikih Islam”. Fase ini berlangsung selama 250 tahun, sejak awal abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H. Pada masa ini, aktifitas ijtihad memuncak; sering disebut dengan ”periode ijtihad dan masa keemasan fiqh Islam”. Pada masa periode ijtihad dan masa keemasan fiqh Islam inilah banyak muncul Imam, seperti: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Setelah periode ijtihad dan keemasan fiqh Islam berakhir, dunia ijtihad mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan ulama masing-masing mazhab yang sudah terbentuk lebih mempertahankan pendapat mazhabnya daripada berijtihad langsung kepada Al-Qur’an dan sunah. Pada masa ini, perkembangan fiqh pun mulai lambat. Keadaan seperti ini berlangsung hingga abad ke-13 H, dan sering disebut periode ”taklid dan tertutupnya pintu ijtihad”.

C.Kehujjahan Ijtihad
Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nas tidak dijumpai hukum yang akan diterapkan pada suatu kasus, maka seseorang mujtahid boleh melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama. Hasil ijtihad itu wajib diterapkannya, tetapi tidak wajib diikuti oleh mujtahid yang lain. Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila hanya ada seorang mujtahid di suatu negeri, maka kewajiban berijtihad terpikul ke pundaknya; dalam ushul fiqh disebut dengan wajib ’aini (kewajiban secara pribadi).

Asy-Syaikh Muhammad Khudloriy mengemukakan hukum-hukum ijtihad itu sebagai berikut:
1.Wajib ’aini, yaitu bagi seseorang yang ditanyai akan sesuatu peristiwa, dan peristiwa itu akan hilang sebelum diketahui. Atau ia sendiri mengalami sesuatu peristiwa yang ia sendiripun mengetahuinya.
2.Wajib kifa’i, yaitu apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukum-hukumnya, dan disamping itu masih ada mujtahid yang lain.
3.Sunnah (annadbu), yaitu hukum atas sesuatu yang belum terjadi, baik hal itu ditanyakan atau tidak.

D.Pembagian Ijtihad
Aktivitas ijtihad sejak masa Rasulullah Saw sampai sekarang masih berjalan. Adakalanya seorang mujtahid melakukan ijtihad langsung kepada Al-Qura’an dan sunah, ada yang melakukan ijtihad dengan cara menyaring dan men-tarjih (menguatkan) hasil ijtihad fakih sebelumnya, dan adakalanya seorang mujtahid melakukan ijtihad dengan menerapkan hukum ijtihad yang sudah ada. Oleh karena itu, para ahli ushul fiqh membagi ijtihad tersebut sesuai dengan objeknya masing-masing.
Dari segi relevansi ijtihad untuk masalah-masalah kontemporer, Yusuf al-Qardawi membagi ijtihad atas ijtihad intiqa’i/tarjihi dan ijtihad insya’i. Sedangkan dari segi objek kajian ijtihad, Imam asy-Syatibi membagi ijtihad atas ijtihad istinbati dan ijtihad tatbiqi.
Menurut Yusuf al-Qardawi, ijtihad intiqai atau ijtihad tarjihi merupakan ijtihad yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat ahli fiqh terdahulu dalam masalah tertentu, seperti terdapat dalam kitab-kitab fiqh, dengan menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan untuk diterapkan dalam kondisi sekarang.
Ijtihad tarjihi/intiqa’i berbeda dengan kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ulama terdahulu. Apabila diteliti berbagai referensi ushul fiqh, maka akan ditemui bahwa kegiatan tarjih yang dilakukan mujtahid at-tarjih pada zaman dahulu hanya terbatas pada permasalahan yang ada pada mazhab tertentu, dengan senantiasa mengacu kepada ushul atau kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh imam mazhab yang bersangkutan. Mujtahid at-tarjih seperti ini dalam usul fikih disebut juga dengan mujtahid muqayyad.
Ijtihad insya’i (ijtihad kreatif) adalah mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama fiqh terdahulu. Dalam melakukan ijtihad terhadap permasalahan lama atau baru, seorang mujtahid menghasilkan pendapat yang berbeda sama sekali dengan pendapat ulama terdahulu. Terhadap permasalahan yang pernah muncul pada zaman dahulu, mujtahid munsyi’ (mujtahid yang melakukan ijtihad insya’i) mengemukakan pendapat baru; sedangkan untuk permasalahan baru, ia berupaya untuk menentukan hukumnya dengan meneliti dan memahami secara menyeluruh kasus yang dihadapi sehingga dapat ditentukan hukumnya dengan tepat dan tujuan syari’at dapat tercapai.
Adapun asy-Syatibi membagi ijtihad dari segi objek kajiannya atas dua macam, yaitu ijtihad istinbati dan ijtihad tatbiqi. Apabila seorang mujtahid berhadapan dengan nusus asy-syari’ah (teks-teks syari’at [Al-Qur’an dan sunah]) dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung dalam nusus, maka ijtihad yang dilakukannya disebut dengan ijtihad istinbati. Hasil ijtihad yang diperolehnya itu akan dijadikan tolak ukur terhadap suatu masalah yang ditetapkan hukumnya.
Apabila seorang mujtahid telah menemukan ide atau substansi hukum dari nusus asy-syari’ah, maka untuk menerapkan ide hukum tersebut kepada suatu kasus secara konkret, diperlukan pula suatu bentuk ijtihad. Bentuk ijtihad yang dimaksud adalah ijtihad tatbiqi.
Menurut Dr. Dawalibi yang sesuai dengan pendapat asy-Syatibi dalam kitab al-Muwafakat, yaitu:
1. Ijtihad al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum–hukum syara’ dari nas.
2. Ijtihad al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah dengan menggunakan metode qiyas.
3. Ijtihad al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Sedangkan menurut Muhammad Jaziyu al-Hakim, ijtihad di bagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya di dasarkan pada akal tidak menngunakan dalil syara’. Misalnya, menjaga kemudharatan, hukuman itu jelek bila tidak di sertai penjelasan dll.
2. Ijtihad Syar’i, yaitu ijtihad yang di dasarkan pada syara’ termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istishlah dan lain-lain.

E.Metode Ijtihad
Ijtihad sebagai salah satu upaya penggalian hukum Islam yang cukup dinamis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui kaidah-kaidah kebahasaan, seperti meneliti kehendak lafal melalui teks yang ‘amm (umum), khass (khusus), muqayyad (terbatas), mujmal (secara keseluruhan dan umum), mubayyan (jelas), mantuq (makna yang langsung dapat dipahami dari dalil), mafhum (makna yang dipahami dari dalil secara tersirat, musytarak (mengandung beberapa arti), dan mu’awwal (yang ditakwil). Kedua, melalui kaidah-kaidah syar’iyyah yang diinduksi melalui cara yang ditempuh Syari’ dalam menetapkan hukum dan tujuan yang hendak dicapai dalam pensyari’atan hukum tersebut. Jika metode ijtihad dari segi kebahasaan ditujukan kepada teks Al-Qur’an dan sunah, maka metode syar’iyyah (yang berdasarkan kaidah-kaidah syar’i) berupaya menggali hukum Islam melalui makna yang ingin dicapai Syari’ melalui pensyari’atan hukum. Konsep seperti ini dikenal dalam ushul fiqh dengan maqasid asy-syari’ah. Metode ijtihad dalam bentuk kedua ini dipergunakan ketika hukum yang pasti dalam kasus yang dihadapi tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau sunah, dan belum ada ijma’ ulama terhadap hukumnya.

F.Syarat-Syarat Mujtahid
Ulama ushul fiqh telah menetapkan berbagai persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid:
1.Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Al-Qur’an. Ulama sepakat bahwa seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al-Qur’an dengan ilmu yang terkait dengannya, termasuk asbab an-nuzul (sebab turunnya ayat), serta nasikh (ayat yang membatalkan ayat sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dibatalkan oleh ayat yang datang kemudian).
2.Memiliki pengetahuan yang baik tentang sunah Rasulullah Saw. Pengetahuan tersebut harus dimiliki seorang mujtahid karena sunah merupakan penjelas (al-bayan) dari Al-Qur’an dan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an.
3.Mengetahui persoalan-persoalan yang menjadi ijma’ (consensus) ulama terdahulu. Seorang mujtahid dituntut untuk mengetahui seluk-beluk ijma’ serta persoalan-persoalan yang telah disepakati hukumnya oleh ulama. Pengetahuan tersebut diperlukan agar mujtahid yang bersangkutan tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum ijma’ ulama terdahulu.
4.Mengetahui bahasa Arab. Pengetahuan yang baik tentang seluk-beluk bahasa Arab sangat dituntut dari seorang mujtahid, karena Al-Qur’an dan sunah menggunakan bahasa Arab. Dengan demikian, seorang mujtahid tidak mungkin meng-istinbatkan-kan hukum dari kedua sumber tersebut jika tidak memahami bahasa Arab dengan baik. Akan tetapi, Wahbal az-Zuhaili mengatakan bahwa seorang mujtahid tidak dituntut menghafal sepenuhnya seluk-beluk bahasa Arab seperti nahwu, sharaf, dan balaghah, tetapi disyaratkan mempunyai kemampuan untuk merujuk pengertian dan seluk-beluk bahasa tersebut dari kitab-kitab standard yang ada.
5.Menguasai ilmu ushul fiqh. Seorang mujtahid harus memahami ilmu ushul fiqh secara baik, karena dalam ilmu itu dapat diketahui kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk meng-istinbat-kan hukum syara’ dari Al-Qur’an dan sunah; apakah peristiwa yang akan dicari hukumnya ditunjuk secara jelas oleh nas, atau peristiwa itu tidak sama sekali dibicarakan secara jelas oleh nas.
6.Memahami maqasid asy-syari’ah (maksud-maksud syara’). Secara jeli dan baik. Syarat ini diperlukan oleh seorang mujtahid, karena dalam memahami dan menerapkan hukum-hukum yang dikandung oleh nusus terhadap persoalan hukum yang dihadapinya harus senantiasa mengacu kepada maksud Allah Swt dalam mensyari’atkan hukum.
Persyaratan-persyaratan yang disebutkan di atas merupakan persyaratan intelektual yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Di samping itu, dalam literatur ushul fiqh ulama juga memberikan syarat yang terkait integritas pribadi, seperti beriman, dewasa, berakal sehat serta memiliki pemahaman yang mendalam dan tajam.

G.TINGKATAN MUJTAHID
Tingkatan para mujtahid terbagi dalam lima tingkatan:
1.Mujtahid Mustaqil: adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri.
2.Mujtahid Mutlaq Ghairu Mustaqil: adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil namun tidak menciptakan sendiri tetapi mengikuti metode salah satu mazhab.
3.Mujtahid Muqayyad / Takhrij: adalah mujtahid yang terikat oleh madzab imamnya, memang diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya tetapi tidak boleh keluar dari kaedah-kaedah yang di pakai imamnya
4.Mujtahid Tarjih: adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi ia seorang fakih yang menghafal mazhab Imamnya serta mengetahui secara baik kaidah-kaidah Imam mazhabnya.
5.Mujtahid Fitya: adalah mujtahid yang kemampuannya hanya menghafal mazhabnya sendiri dan berusaha menjelaskan persolan-persoalan yang sulit dalam mazhabnya kepada masyarakat.

H.Hal-Hal Yang Boleh DiIjtihadi
Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat dalam nash yang jelas dan pasti. Jika kejadian yang hendak di ketahui hukum syar’inya itu telah di tunjukkan oleh dalil yang jelas dan petunjuk serta maknanya pasti, maka tidak ada peluang untuk ijtihad. Yang wajib adalah melaksanakan pemahaman yang di tunjukkan nash karena selama dalil itu pasti datangnya, maka ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya bukan menjadi obyek pembahasan.
Dalam firman Allah yang Artinya : “dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat’”. Setelah sunah perbuatan nabi menjelaskan maksud dari sholat atau zakat, maka tidak ada peluang berijtihad dalam menjelaskan pengertian keduanya. Apabila kejadian yang hendak di ketahui hukumnya terhadap nash yang makna dan datangnya dugaan salah satunya saja, maka keduanya mempunyai peluang ijtihad karena mujtahid itu meneliti dalil dugaan datangnya dari sanad-nya. Cara sampainya kepada kita dari Rasulullah dan tingkat keaslian, kekuatan ingatan kepercayaan serta kejujuran para rawinya.
Apabila ijtihad mujtahid mengenai sanad itu telah membuat dia percaya tentang periwayatan dan kejujuran rawinya, maka dia boleh berijtihad untuk mengetahui hukum yang di tunjukkan oleh dalil dan peristiwa yang di terapkan kepada hukum itu. Hal-hal yang di jadikan pedoman dalam ijtihadnya antara lain kaedah dasar dari segi bahasa, tujuan perundingan hukum syara’, dasar atau kaidah umum dan nash lain yang menjelaskan hukum. Dari sini ia dapat menyimpulkan apakah nash itu dapat di terapkan untuk kejadian ini atau tidak.
Sehingga secara umum lapangan hukum Islam yang tidak boleh menjadi objek ijtihad adalah :
1.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i, baik kedudukannya maupun pengertiannya.
2.Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh suatu nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama, tetapi telah disepakati oleh para mujtahid dari suatu masa.
Adapun hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad, seperti yang dikemukakan oleh Abdullah Wahhab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rasulullah Saw, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dikategorikan kedalam tiga macam (Effendi, 2008;251):
1. Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang yang tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir. Hadits Ahad dari segi kepastian datangnya dari Rasulullah Saw hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zhanni) dalam arti tidak tertutup kemungkinan adannya pemalsuan meskipun sedikit.
2. Lafal-lafal atau redaksi Al-Qur’an atau Hadits yang menunujukkan pengertiannya secara tegas (zhanni) sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi itu.
3. Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau Hadits dan tidak pula ada ijma’ yang menjelaskannya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.

I.Peranan Ijtihad Dalam Perkembangan Hukum Islam
Ijtihad adalah nafasnya hukum Islam. Oleh karena itu, jika kegiatan ijtihad ini terhenti, maka hukum Islam pun terhenti perkembangannya, sebaliknya jika kegiatan ijtihad itu terlalu dinamis, produk-produk hukumnya akan akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakatnya.
Ada dua penyebab utama yang menuntut pembahasan hukum lewat kajian ijtihad, yaitu terdapatnya nash-nash yang zhanni, baik di lihat dari sudut dilalahnya (nash-nash yang bermakna ganda) maupun dari sudut wurudnya (hadits nabi yang tidak mutawatir). Dan kedua, berkembangnya fenomena temporer yang senantiasa menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para mujtahid dalam hukum Islam. Para ijtihad dalam hukum islam itu tiada lain adalah dalam rangka memberikan jawaban-jawaban hukum untuk berbagai persoalan temporer yang di hadapi para mujtahid, yang dapat di tempuh melalui dua corak ijtihad, yaitu ijtihad lafdzi dan aqli. Dan adanya kontinuitas dalam pembahasan hukum lewat ijtihad, akan menjamin ketentuan-ketentuan hukum itu tetap actual dalam kehidupan masyarakat dan tidak tertinggal oleh dinamika kehidupan sosial, serta khazanah hukum Islam akan semakin kaya.

J.Fungsi Ijtihad
Faqih atau Fuqaha melakukan ijtihad apabila dalam suatu peristiwa yang terjadi tidak ada dasar hukum atau petunjuk nash-nash Al-Qur’an.
Manusia secara kodrati terdiri atas jasmani dan rohani. Rohani itu berfungsi untuk memahami apa yang dilihat oleh manusia, apa yang dialami oleh akal pikiran yang sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dalam jagat raya ini. Sekalipun tidak ada petunjuk dari agama, manusia dapat menggunakan akalnya untuk memperoleh kebahagiaan hidupnya.
Imam al-Syafi’i menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an dengan menegaskan: “ Maka tidak terjadi suatu pristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya . Oleh karena itu Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu (Effendi, 2008 ; 249).
Pernyataan imam Syafi’i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir seperti Hadits Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad. Dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah.

Hibah & Wasiat

HIBAH

A. Pengertian Hibah
Kata "hibah" berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi.
Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.
Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberuikan zat dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tnpa da kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).
Dalam istilah hukum perjanjian yang seperti ini dinamakan juga dengan perjanjian sepihak (perjanjian unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).

B. Dasar Hukum Hibah
Dasar hukum hibah ini dapat kita pedomani hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai berikut :
"Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena ia adalah rezeki yang diberi Allah kepadanya".

C. Rukun Dan Syarat Sahnya Hibah
Rukun hibah adalah sebagai berikut :
1. Penghibah , yaitu orang yang memberi hibah
2. Penerima hibah yaitu orang yang menerima pemberian
3. Ijab dan kabul.
4. Benda yang dihibahkan.

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah :

1. Syarat-syarat bagi penghibah
a. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan
c. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
d. Penghibah tidak dipaksa untuk memnerikan hibah.

2. Syarat-syarat penerima hibah
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.

3. Syarat-syarat benda yang dihibahkan
a. Benda tersebut benar-benar ada;
b. Benda tersebut mempunyai nilai;
c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan;
d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.

Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan.
Menurut beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu".
Sedangkan Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup tanpa harus diikuti oleh kabul, dengan pernyataan lain hanya berbentuk pernyataan sepihak.
Adapun menyangkut pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
2. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.
3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh si pemberi hibah.
4. Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa dibelakang hari.

D. Hibah Orang Sakit Dan Hibah Seluruh Harta
Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah.
Sedangkan menyangkut penghibahan seluruh harta, sebagaimana dikemukakan oleh Sayid Sabiq, bahwa menurut jumhur ulama seseorang dapat / boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain.
Muhammad Ibnu Hasan (demikian juga sebagian pentahqiq mazhab Hanafi) berpendapat bahwa : Tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun di dalam kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang yang dungu dan orang yang dungu wajib dibatasi tindakannya.

E. Penarikan Kembali Hibah
Penarikan kembali atas hibah adalah merupakan perbuatan yang diharamkan meskipun hibah itu terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri. Adapun hibah yang boleh ditarik hanyalah hibah yang dilakukan atau diberikan orang tua kepada anak-anaknya.
Dasar hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An- Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-tarmidzi yang artinya berbunyi sebagai berikut :
"Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : "Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua kepada anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali.

F. Ketentuan Hibah Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) tersebut disyaratkan selain harus merupakan hak penghibah, penghibah telah pula berumur 21 tahun, berakal sehat dan didasarkan atas kesukarelaan dan sebanyak-banyaknya 1/3 dari hartanya (pasal 210).
Sedangkan hibah yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya, kelak dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, apabila orang tuanya meninggal dunia (pasal 211)
Sedangkan menyangkut penarikan hibahterhadap harta yang telah dihibahkan tidak mungkin untuk dilakukan, kecuali hibah yang dilakukan orang tua kepada anaknya (pasal 213).
Menyangkut hibah yang diberikan pada saat si penghibah dalam keadaan sakit yang membawa kematian, maka hibah tersebut harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya (pasal 213).
Warga negara Indonesia yang berada di Luar Negeri dapat membuat surat hibah di depan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini (pasal 214).

WASIAT

A. Pengertian Dan Hukum Wasiat
Wasiat adalah pesan seseorang kepada orang lain untuk mengurusi hartanya sesuai dengan pesannya itu sepeninggalnya. Jadi, wasiat merupakan tasaruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan setelah meninggalnya orang yang berwasiat, dan berlaku setelah orang yang berwasiat itu meninggal.
Menurut asal hukumnya wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan. Oleh karena itu, dalam syari'at Islam tidak ada suatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim.
Firman Allah SWT :
كتب عليكم اذا حضر احدكم الموت ان ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين. ( البقرة : 18 ).
"Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan ( tanda-tanda) mati jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabat secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-baqarah: 180).

Wasiat dilakukan dengan cara :
1. Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris. (pasal 195 ayat 1)
2. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. (pasal 195 ayat 2).

B. Batasan Wasiat

1. Ketentuan Wasiat
Untuk melaksanakan wasiat perlu diperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut :
a. Tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang dimiliki oleh pemberi wasiat. (pasal 195 ayat 2).
b. Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan. (pasal 201)
c. Jangan memberi wasiat kepada ahli waris yang sudah mendapat bagian cukup.

2. Rukun dan Syarat Wasiat
a. Rukun wasiat
1). Orang yang memberi wasiat
2). Orang yang menerima wasiat
3). Harta yang diwasiatkan
4). Shigat wasiat

b. Syarat wasiat
Syarat pewasiat
1). Baligh
2). Berakal
3). Dengan sukarela atas kemauan sendiri

Syarat orang yang menerima wasiat
1). Orangnya jelas, baik nama atau alamat
2). Ia ada ketika pemberian wasiat
3). Cakap menjalankan tugas yang diberikan pemberi wasiat

Syarat barang yang diwasiatkan
1). Berupa barang yang mempunyai nilai
2). Sudah ada ketika wasiat itu dibuat
3). Milik pemberi wasiat

Syarat shigat
Menggunakan kata-kata yang tegas menyatakan maksud wasiat.

C. Cara Melaksanakan Wasiat
1. Harta peninggalan jenazah harus diambil lebih dahulu untuk kepentingan pengurusan jenazah.
2. Setelah itu, harus dilunasi utang-utangnya lebih dahulu jika ia memiliki utang.
3. Diambil untuk memenuhi wasiat jenazah dengan catatan jangan lebih dari sepertiga harta peninggalan.
4. Setelah wasiat dipenuhi, maka harta peninggalannya diwariskan kepada ahli waris yang berhak.

D. Pencabutan Wasiat
1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali. (pasal 199 ayat 1)
2. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secar lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan. (pasal 199 ayat 2).
3. Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris. (pasal 199 ayat 3).
4. Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte Notaris. (pasal 199 ayat 4).

Kamis, 06 Mei 2010

Pengertian Wakaf

PENGERTIAN WAKAF

Menurut fikih
1. Pengertian pertama “ Menahan asal ( pokok ) harta dan mendermakan hasilnya serta memanfaatkannya di jalan Allah”
2. Pengertian kedua : ” Suatu bentuk pemberian yang menghendaki penahanan asal harta dan mendermakan hasilnya pada jalan yang bermanfaat”
Dengan demikian wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadzir (pengelola atau pengurus wakaf ) atau kesuatu badan pengelola. Dengan ketetntuan bahwa hasil atau manfaatnya dipergunakan sesuai dengan ajaran Islam. Benda yang diwakafkan tidak lagi menjadi hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula milik tempat menyerahkan ( nadzir ), tetapi menjadi milik Allah ( hak ummat ).

Menurut Undang-undang
1. Peraturan pemerintah no.28 tahun 1977:
"Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan kelembagaannya untuk selama-lamanya unrtuk kepentingan atau keperluan ummat lainnya sesuai ajaran Islam.”
2. Wakaf diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan:
” Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan kelembagaannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam”.
3. Undang-undang Wakag Nomor 41 Tahun 2004 :
"Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangkawaktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadaha dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah.”


JENIS-JENIS WAKAF

Wakaf Zurry / Wakaf Ahli
Ialah wakaf yang dikhususkan oleh orang yang berwakaf untuk kerebatnya, seperti anak, cucu, saudara atau ibu bapaknya. Wakaf seperti ini bertujuan untuk membela nasib mereka. Dalam konsepsi hukum Islam, seseorang yang punya harta yang hendak mewakafkan sebagian hartanya sebaiknya lebih dahulu melihat kepadasanak famili. Bila ada diantara mereka yang sedang membutuhkan pertolongannya, maka wakaf lebih afdhol diberikan kepada mereka..

Wakaf Khairy
Ialah wakaf yang diperuntukan untuk amal kebaikan secara umum atau maslahatul ummat, seperti untuk masjid, sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan semisal itu. Atau mewakafkan harta untuk kepentingan sosial ekonomi orang-orang misin, anak yatim dan sebagainya.


RUKUN dan SYARAT WAKAF

Secara Umum
1. Adanya Wakif ( Orang yang berwakaf )
2. Maukuf Alaih atau Nadzir ( Orang yang emenrima wakaf )
3. Maukuf ( benda yang diwakafkan )
4. Sighot atau Ikrar
5. Peruntukan harta benda wakaf
6. Jangka waktu wakaf

Syarat Wakif
1. Dewasa
2. Berakal sehat
3. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
4. Pemilik syah harta benda wakaf

Syarat Nadzir
1. Hadir waktu penyerahan wakaf
2. Harus ahli untuk memiliki dan mengelola harta yang diwakafkan
3. Bukan orang yang durhaka kepada Allah
4. Jelas tidak diragukan kebenarannya ( lihat UU no 41 th 2004 Pasal 10 s/d 14 )

Syarat Maukuf
1. Benda tidak bergerak ( tanah, bangunan, tanaman, dll )
2. Benda bergerak ( harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, haksewa dan lain-lain )

Syarat Sighot
Harus dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir dihadapan PPAIW (Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakaf ) dengan disaksiksn oleh 2 ( dua ) orang saksi. Ikrar wakaf dinyatakan secara lisan atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

Wakaf Tunai

Wakaf Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam


A. Pengertian Wakaf Tunai
Sejak awal, perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak sepert tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk diambil airnya, sedang wakaf benda yang bergerak baru mengemuka belakangan. Di antara wakaf benda bergerak yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang dikenal dengan istilah cash waaf. Cash waaf diterjemahkan dengan wakaf tunai, namun kalau menilik obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waaf diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Juga termasuk kedalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham, cek dan lainnya. Hukum wakaf tunai telah menjadi perhatian para fuqaha’ (juris Islam). Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf tunai. Imam al-Bukhari (wafat tahun 2526 H) mengungkapkan bahwa Imam az-Zuhri (wafat 124 H) berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata uang yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Wahbah az-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, karena sudah banyak masyarakat yang melakukannya. Mazhab Hanafi memang berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasrkan ‘urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks). Dasar argumentasi mazhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ma’ud, r.a: “Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum Muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.
Cara melakukan wakaf tunai (mewakafkan uang), menurut mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara mudharabah atau mubada’ah. Sedang keuntungannya disedekahkan kepada pihak wakaf.
Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf tunai yang dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di negeri lain wakaf tunai bukan merupakan kebiasaan. Karena itu Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah. Yang juga berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah adalah mazhab Syafi’i. menurut al-Bakri, mazhab Syafi’I tidak membolehkan wakaf tunai, karena dinar dan dirham (baca: uang) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya.
Perbedaan diatas, bahwa alasan boleh atau tidaknya wakaf tunai berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula, terpelihara, dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama? Namun kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang, sangat mungkin untuk melaksanakan wakaf tunai. Misalnya uang yang diwakafkan itu dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan oleh mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud saham di perusahaan yang bonafide atau didepositokan di perbankan Syari’ah, dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai wakaf. Wakaf tunai yang diinvestasikan dalam wujud saham atau deposito, wujud atau lebih tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu yang lama.

B. Sejarah Wakaf Tunai
Praktik wakaf secara umum, bukan wakaf tuna telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan masyarakat sebelum Islam telah mempraktikan sejenis wakaf, tapi dengan nama lain, bukan wakaf. Karena praktik sejenis wakaf telah ada di masyarakat sebelum Islam, tidak terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai kelanjutan dari praktik masyarakat sebelum Islam. Sedang wakaf tunai mulai di kenal sejak zaman dinasti Ayyubiyah di Mesir.

B.1. Wakaf Secara Umum
Praktik sejenis wakaf di masyarakat sebelum Islam dibuktikan dengan adanya tempat-tempat ibadah yang dibangun di atas tanah yang pekarangannya dikelola dan hasilnya untuk membiayai perawatan dan honor yang merawat tempat ibadah tersebut. Masjid al-Haram di Mekkah dan masjid al-Aqsha misalnya telah dibangun diatas tanah yang bukan hak milik siapapun, tetapi milik Allah. Kedua masjid itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Pertanyaannya, kenapa masyarakat sebelum Islam telah memperaktikkan sejenis wakaf? Di masyarakat sebelum Islam telah dikenal praktik sosial dan diantara praktik-praktik sosial itu adalah praktik menderma sesuatu demi kepentingan umum atau dari satu orang untuk semua keluarga.
Praktik sejenis wakaf juga dikenal di Mesir, Roma dan Jerman. Di Mesir, Raja Ramsi kedua mendermakan tempat ibadah “Abidus” yang arealnya sangat besar.
Karena praktik sejenis wakaf yang terjadi pada masyarakat sebelum Islam memiliki tujuan yang seiring dengan Islam, yaitu terdistribusinya kekayaan secara adil dan kemudian berujung pada kesejahteraan bersama, maka Islam mengakomodirkannya dengan sebutan wakaf. Pada tahun kedua hijriah, setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah, disyri’atkanlah wakaf. Di kalangan fuqaha’ (juris Islam) terdapat dua pendapat siapa yang mempraktikkan Syari’at wakaf. Pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri yang mempraktikkan wakaf pertama kali, yaitu ketika Nabi mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid diatasnya. Kedua, ada juga sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali mempraktikkan Syari’at wakaf adalah Umar bin Khattab. Argumentasi ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar ra, ketika Umar ra mendapat sebidang tanah di Khaibar.
Kita tidak dapat menverifikasi kedua pendapat diatas, karena argumentasi yang dibangun keduanya hanya didasarkan kepada hadis, namun tidak disebutkan kapan Nabi Muhammad SAW dan Umar mempraktikkan Syari’at wakaf.

B.2. Wakaf Tunai
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Pada masa ini, wakaf tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak semisal wakaf tunai. Tahun 1178 M/ 572 H, dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab sunni, Salahuddin al-Ayyubi menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandar itu membayar bea cukai dalam bentuk uang atau benda? Namun lazimnya bea cukai dibayar dengan menggunakan uang. Uang hasil pembayaran bea cukai dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha’ (juris Islam) dan para keturunannya.
Dinasti Mamluk juga mengembangkan wakaf dengan pesatnya. Apa saja boleh diwakafkan dengan syarat dapat diambil manfaatnya. Tetapi yang banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, sperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Juga, pada masa dinasti Mamluk terdapat hamba sahaya (budak) yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama.
Wakaf terus dilaksanakan di negara-negara Islam hingga sekarang, tidak terkecuali Indonesi. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa wakaf yang berasal dari agama Islam itu telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Dan juga di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tidak bergerak.

C. Dasar Hukum Wakaf Tunai
Wakaf tunai dibolehkan berdasarkan: firman Allah, Hadis Nabi dan pendapat Ulama, yaitu:
Firman Allah :

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkah kan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”. (QS : Ali Imran : 92).

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS : al-Baqarah : 261).

Hadis :

Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim)

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra: Ia berkata Umar ra berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi SAW berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.” (HR al-Nasa’i).

Pendapat Ulama :
Selain ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i juga membolehkan wakaf tunai.

“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham (uang)”.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf tunai. Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi didasarkan kepada hadis Ibn Umar (seperti yang disebutkan di atas). Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan definisi (baru) tentang wakaf, yaitu:

“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.

D. Lingkup Sasaran Pemberi Wakaf Tunai (Wakif)
Salah satu rukun wakaf adalah wakif (orang yang mewakafkan harta). Orang yang mewakafkan harta (wakif) diisyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam hal membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria sebagai berikut :
a. Merdeka, wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik. Budak dan apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuannya.
b. Berakal sehat, wakaf yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal seperti orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga tidak sah wakaf orang yang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.
c. Dewasa (baligh), wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.
d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai), orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tapi berdasarkan istihsan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain.